BERDAYAKAN YATIM



Aun Falestian Faletehan mengatakan bahwa “Ada pepatah dari Benua Afrika yang terkenal tentang anak yatim, “Kud mbelawa a hada a hwad” (An orphan's tears run inside)”. Makna harfiahnya, air mata yatim selalu menetes ke dalam. Ungkapan ini dipakai untuk menggambarkan betapa pedihnya kehidupan anak tanpa orang tua. Mereka acapkali dihiraukan, ditimpa ketidakadilan sosial namun tidak kuasa melawan. Hanya menangis. Itu pun tumpahnya tidak meleleh di pipi, tapi ke dalam rongga badan dan masuk ke perut yang sering lapar keroncongan. Orang luar tidak tahu kalau anak yatim itu meringis kesakitan, karena faktanya sakit itu tidak tampak dari luar.
Anak yatim adalah fenomena sosial yang merajalela. Mereka hampir ada di mana-mana, tapi ironisnya mereka pun tercampakkan di mana-mana. Definisi yatim bagi kita khalayak umum cukup simpel. Sederhana dan jangan pula dirumitkan, karena nasib mereka sudah terlanjur sering diperumit. Orang bule secara berkelakar menyebutnya; Without father, half orphan. Without father and mother, complete orphan. Bahasa kita, yatim itu tidak ber-ayah, kalau tidak ber-ayah dan ber-ibu disebut yatimpiatu.
Logikanya, kalau ayah atau ibu itu fungsinya sebagai penopang ekonomi keluarga. Maka kehilangan salah satu dari keduanya jelas menggoyahkan sirkulasi ekonomi rumah tangga. Efeknya pun jatuh ke anak-anak. Dari sini, bertebarlah amal-amal shaleh tentang ‘menyantuni anak yatim’. Artinya, menggantikan fungsi ‘kebapakan’ agar kehidupan perekonomian anak yatim itu tidak terganggu.
Islam, dan juga semua agama-agama yang lain, secara gamblang dan terus-menerus menganjurkan umatnya untuk menyantuni anak yatim. Konon, KH. Ahmad Dahlan secara kontinuitas mengajarkan surat al-Ma’un kepada para jamaahnya. Beliau tidak berani berpindah surat sebelum seluruh materi surat tersebut benar-benar diamalkan, tidak hanya sekedar dilafalkan dan dihafalkan. Salah satu point dalam surat itu adalah tentang keharusan menyantuni anak yatim.
Anak yatim memang tersantuni bila perekonomian mereka diperhatikan. Praktek umum yang dilakukan masyarakat memang menunjukkan bahwa memberikan uang, makanan, sarung, kopyah, dan sejenisnya adalah hal-hal yang lazim diterima anak yatim. Tetapi sebetulnya hal lain yang sering diabaikan adalah mengajari mereka tentang cara hidup. Membelikan es cendol bagi anak kecil hanya menghilangkan dahaganya sesaat. Namun mengajarinya tentang cara menghadapi sebuah kehidupan, secara jangka panjang, akan memberikannya ilmu yang bermanfaat sepanjang hidup.
Pertanyaan mungkin muncul. Siapa yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anak yatim? Keluarga terdekat barangkali jawaban yang pas. Tatkala sosok Muhammad SAW ditinggal bapaknya, Abdul Muthalib selaku kakek langsung mengasuhnya. Selepas sang kakek mangkat, pengasuhan Nabi kaum muslimin ini pun seketika beralih ke tangan pamannya, Abu Thalib.
Akan tetapi bila melihat struktur komunitas di masa sekarang, yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi anak yatim sejatinya tidak hanya dibebankan pada kerabat dekat saja. Seluruh masyarakat sekitar pun harus bertanggung jawab terhadap kehidupan anak yatim. Kalau melihat teori sosial keluarga, dari semenjak zamannya Talcott Parsons and Robert Bales hingga masa postmodernisme ini, konsep dasar keluarga adalah sebagai institusi sosial yang menyatukan beberapa orang untuk saling peduli antar satu dengan lain. Keluarga, lengkap ataupun tidak lengkap jumlah anggotanya (termasuk keluarga anak yatim di dalamnya), adalah sebuah institusi kecil yang menjadi bagian dari institusi besar yang namanya negara. Tiap-tiap keluarga punya jaringan yang konkrit, bersosialisasi dan saling membutuhkan agar mampu menggerakkan institusi yang lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan, masjid, universitas, dan pemerintahan. Konsekuensinya, masing-masing keluarga harus pula peduli terhadap keluarga yang lain.
Lantas, anak yatim pun semestinya menjadi kepedulian semua umat. Tugas mendidik mereka adalah tugas umat. Makanya banyak gerakan-gerakan penopang hal ini seperti gerakan “satu rumah satu yatim”. Artinya, setiap keluarga setidaknya mengasuh dan mendidik anak yatim. Hal-hal semacam inlah yang semestinya disemarakkan. Seperti yang dikatakan Karl Menninger, “What’s done to children, they will do to society.” Apa saja yang kita lakukan terhadap anak-anak, mereka akan melakukan yang serupa terhadap masyarakat. Kita memperlakukan anak yatim dengan baik, mereka pun kelak akan membalasnya dengan pembangunan bangsa yang baik pula.
Dari sini, salah satu yang penting dipertimbangkan dalam mendidik anak yatim adalah mengajarinya berpikir kritis. Ini adalah bekal yang paling penting di segala era. Di zaman mana pun, asalkan kita kritis, pasti sulit untuk dibohongi orang. Untuk anak yatim, yang pertama kali patut untuk dilakukan adalah menanamkan keyakinan kepada mereka semenjak dini bahwa yatim itu pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan anak-anak lainnya. Secara struktur keluarga mungkin ia berbeda karena kehilangan orang tua, tetapi hal ini tidaklah perlu untuk ditekankan. Yatim mungkin berbeda, tapi tidak perlu dibeda-bedakan dengan anak lain. Pembedaaan, lebih parah lagi kalau diskriminasi, justru akan membuat anak yatim menjadi minder. Sikap rendah diri bisa saja timbul karena, dengan adanya pembedaan, anak yatim merasa selalu diingat-ingatkan kalau ia tidak memiliki orang tua yang lengkap. Tidak ada bapak yang selalu mendidik dan mengawasinya. Tidak ada ayah yang selalu membelikannya mainan untuk ditunjukkan kepada teman sebaya. Tidak ada papa yang selalu mengajaknya piknik ke taman bermain.
Sebaliknya, justru harus sering ditanamkan pada pikiran mereka bahwa yatim itu adalah kelompok spesial. Dengan tidak adanya orang tua di sebelahnya, maka akan banyak kesempatan untuk selalu melakukan kegiatan secara mandiri. Dengan demikian, akan lahirlah self esteem, kepercayaan diri yang tinggi dan optimisme. Dalam kemandirian inilah diiringi dengan pembelajaran berpikir kritis dan positif, dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

            Walhasil, mengajarkan pola berpikir kritis dan positif terhadap yatim mesti disamakan urgensitasnya dengan memberikan sarung dan kopyah sebagaimana rutinitas kegiatan menyantuni anak yatim. Harapannya, Indonesia tidak lagi mengenal masa depan muram buat yatim, karena keluarga yatim telah bisa mandiri meski masih perlu diperhatikan oleh keluarga-keluarga lain. Kalau Afrika mengenal ungkapan ‘mata air anak yatim menetes ke dalam’, maka kita, sebagai bangsa yang dikenal santun, idealnya menciptakan ungkapan ‘air mata bahagia anak yatim menetes ke dalam dan ke luar’.
Peran Negara dan Masyarakat dalam Pemberdayaan Anak Yatim
Campur tangan Negara dalam upaya memberikan perhatian kepada anak yatim diberikan ruang gerak yang cukup luas melalui amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 Bahwa “Fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara Negara”. Perlu kita sadari bahwa tidak semua manusia dilahirkan dalam kondisi beruntung. Di tengah masyarakat saat ini, pun tidak sedkit kaum yang kurang mampu yang tidak berdaya dalam menghadapi himpitan kehidupan. Kesempatan kaum kurang mampu untuk berusaha sangat terbatas. Sehingga akses terhadap kehidupan dan pendidikan yang layakpun, sulit mereka penuhi. 
Terkait dengan hak anak yatim piatu, Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menegaskan bahwa setiap anak mempunyai hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan hak berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut diri dan masa depannya.  Selaras dengan itu, anak-anak yatim piatu mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan pendidikan serta perlindungan bagi kelangsungan hidupnya. Karenanya, bentuk santunan yang ideal adalah tidak terputus di tengah dan tidak terbatas kebutuhan konsumtif, tetapi juga pemberdayaan anak, yaitu melalui pendidikan.
Menilik kondisi di masyarakat, sebagian besar pemberi bantuan dan penyantun anak yatim piatu, pada umumnya merasa telah cukup untuk menyerahkan bantuan finansial kepada panti asuhan atau anak kurang mampu, tanpa menyumbangkan pemikiran untuk penggunaan dana tersebut bagi pemberdayaan anak. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya donatur telah memercayakan sepenuhnya pengelolaan dana tersebut kepada pihak pengasuh. Sedangkan dari pihak pengasuh, karena keterbatasan tenaga, pemikiran, dan kemampuan lainnya sering tidak berpikir tentang program yang menyangkut pemberdayaan anak, yang sangat dibutuhkan untuk masa depan mereka, yaitu pendidikan.
Faktor lain yang menyebabkan kurangnya upaya pemberdayaan adalah adanya persepsi masyarakat tentang pengertian penyantunan anak yatim piatu, yang terbatas pada pemberian dana untuk biaya hidup dan konsumsi. Melalui program YANG BERKELANJUTAN diharapkan bantuan  anak kurang mampu khususnya  yatim piatu bisa langsung menyentuh kebutuhan yang sangat mendasar termasuk kelangsungan pendidikannya. Tujuan program pemberdayaan antara lain adalah : Pertama,membimbing anak yatim piatu menjadi anak yang berperestasi, mandiri dan ber-akhlakul karimah. Kedua, menyiapkan masa depan anak yatim piatu agar menjadi mandiri dan produktif. Ketiga, melibatkan masyarakat dalam mendukung Program agar menjadi orang tua asuh bagi mereka.
Kita semua tentunya tidak mau disebut sebagai pendusta agama bukan?, sebagaimana sindiran Allah Swt. “ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjuran memberi makan orang miskin. Maka kecelakanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong) dengan barang berguna”. (QS. 108 : 1-7)   
Sedikit perhatian yang kita berikan kepada mereka,  akan sangat berarti buat masa depan mereka, yuk kita mulai dari sekarang. (Isyad A/Red/14/01)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFIL RUMAH YAMDHU